Tugas
mereview
Judul
buku : Studi Islam Kontemporer
Karya : M. Rikza Chamami, M.SI.
Reviewer : Roihanatul M. (103611021)
BAB I
PASANG SURUT KEBANGKITAN KEBUDAYAAN DAN KEILMUAN: POTRET
DISINTEGRASI ABBASIYAH
Dinasti Abbasiyah merupakan sebuah dinasti yang memiliki karakter
kebijakan yang dihasilkan dengan mendapatkan stempel agama. Dinasti ini
didirikan oleh Abdullah Al-Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas.
Dinasti Abbasiyah berkuasa dalam rentang waktu yang sangat panjang, sekitar 508
tahun (750 M/132 H-1258 M/656 H). Akan tetapi, kekuasaan dinasti Abbasiyah
akhirnnya juga mengalami disintegrasi yang akhirnya juga mengakibatkan pasang
surut atas kebangkitan kebudayaan dan keilmuan.
Perkembangan dinasti Abbasiyah dapat diklasifikasikan menjadi tiga
periode: pertama, periode perkembangan dan puncak kejayaan (750-950 M). Kedua,
periode disintegrasi (950-1050 M) yang ditandai dengan melepaskannya diri dan
permintaan otonomisasi oleh wilayah-wilayah, serta berkuasanya dinasti Bani
Buwaihi dari Persia ke pemerintahan khalifah di Bagdad. Dan ketiga, periode kemmunduran dan
kehancuran (1050-1250 M).
Adapun tanda – tanda adanya disintegrasi pada dinasti Abbasiyah
sebagai berikut:
1.
Munculnya
dinasti-dinasti kecil di Barat maupun timur Bagdad yang berusaha melepaskan
diri atau meminta otonomi.
2.
Perebutan
kekuasaan oleh dinasti Buwaihi dari Persia dan Saljuk dari Turki di Bagdad.
3.
Lahirnya
perang salib antara pasukan Islam dengan pauskan salib Eropa.
Sebab-sebab khusus disintegrasinya dinasti Abbasiyah yang lebih
bersifat kausatik:
1.
Geografis,
terlalu jauhnya jarak antara pemerintahan pusat dengan wilayah.
2.
Politis,
para gubernur menghendaki otonomi kekuasaan.
3.
Ideologis,
terdapat pertentangan paham antara Bagdad yang Sunni dan beberapa wilayah yang
Syi’i.
4.
Etnis,
terdapat beberapa kelompok wilayah seperti Persians, Turk dan Arabians, dimana masing-masing
cukup mewarnai dinamika politik antara pusat dan wilayah.
Pada
zaman pemerintahan Abbasiyah pertama merupakan zaman paling sesuai untuk
kebangkitan kebudayaan. Hal ini terjadi tentunya ketika keadaan tentram dan
ekonomi stabil. Dan hal ini terjadi
setelah berdirinya diasti Abbasiyah ketika Abul Abbas as-Shaffah dan khalifah
Abu Ja’far berhasil mempertahankan serta menumpas musuh-musuhnya. Sehingga
saatnya anggota-anggota pemerintahan, keuangan, undang-undang dan berbagai ilmu
pengetahuan untuk bergiat di lapangan masing-masing. Dengan demikian, muncullah
di zaman itu sekelompok penyair handalan, filosof-filosof, para ahli sejarah, ahli ilmu hisab,
tokoh-tokoh agama dan pujangga-pujangga yang memperkaya perbendaharaan bahasa
Arab. Kebangkitan ilmiyah di zaman bani Abbasiyah dapat dibagi menjadi ke dalam
tiga lapangan:
1.
Kegiatan
menyusun buku-buku ilmiah
2.
Mengatur
ilmu-ilmu Islam
3.
Terjemahan
dari bahasa asing
BAB II
KAJIAN KRITIS DIALEKTIKA FENOMENOLOGI DAN ISLAM
Fenomenologi
merupakan salah satu pendekatan yang mampu membedah wujud Islam untuk mencari
otentits Islam. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam (QS.43:51). Tuhan
memang tidak terjangkau oleh segenap persepsi indra maupun imajinasi. Namun
kaum Mulslim mempercayai bahwa seluruh alam adalah sebuah buku besar yang penuh
dengan “tanda-tanda Tuhan” bagi mereka yang mau merenungkannya.
Popper
menjelaskan bahwa sumber kebenaran bukan dari rasio, melainkan dari realitas
alam semesta yang ditangkap oleh rasio. Kebenaran semacam ini berada di luar
kawasan ilmu, tetapi bisa melahirkan ilmu dan bersifat Unstable Truth,
yaitu kebenaran yang tidak dapat diuji.
Perlu
kita ketahui bahwa pencetus aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Pendekatan fenomenologi yaitu
pendekatan yang mengemukakan bahwa objek ilmu tidak terbatas pada empirik,
melainkan mencakup fenomena lain baik persepsi, pemikiran, kemauan dan
keyakinan subjek tentang suatu yang transenden, disamping yang apostetik.
Metode
fenomenologi yaitu metode yang berusaha untuk menjelaskan dan mengungkapkan
sesuatu menurut suatu fenomena. Sedangkan pendekaan fenomenologis digunakan
sebagai upaya memahami arti, peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap
orang-orang dalam situasi tertentu.
Kajian
fenomenologis terhadap esensitas keberagaman manusia muncul karena adanya
ketidakpuasaan para agamawan terhadap kajian historis yang hanya mengkaji
aspek-aspek normativitas agama dari kulit luar atau aspek eksternalnya saja,
sedangkan aspek internalitas kedalaman keberagaman kurang tersentuh.
Filsafat
Edmund Husserl dikembangkan melalui tiga tahap:
a.
Dia
merobahkan posisi ilmuan psikologi psikonetrik yang kukuh dengan dasar-dasar
aritmetikanya. Bahkan, dia berusaha keras membuktikan sikap anti-psikologistik
melalui dasar-dasar logika obyektif dan matematis.
b.
Dia
bertolak dari filsafat konseptional sebagai akar psikologi deskriptif
Brentanian untuk mengembangkan sebuah disiplin baru mengenai “fenomenologi” dan
sebuah posisi yang bersifat metafisik yang disebut “transendental idealism”.
c.
Dia
mentransformasikan fenomenologinya yang pada awalnya disamakan dengan metode solipsisme ke dalam suatu fenomenologi
intersubjektif yang berujung ke pandagan hidupyang bersifat ontologis.
Metode
fenomenologi Husserl, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, pada dasarnya
bertujuan untuk mengkompromikan antara “realitas” dan “pikiran tentang
realitas”. Antara “universalitas” dan “ partikularitas”, antara “subyektivitas”
dan “obyektivitas”. Kompromi metodis yang dipakai Husserl adalah fenomenologi.
Contoh yang dapat dilihat pada agama Islam itu sendiri. Ada NU,
Muhammadiyah, Persis dan sebagainya. Semua realitas keberagaman ini adalah
islam “i” kecil. Ini harus dikurung untuk mendapatkan yang esensi, yaitu Islam
“I” besar. Pada islam “i” kecil akan sering terjadi konflik atau
keberagamannya. Subyektifitas keberagaman ini akan hilang jika Islam tidak lagi
dipahami dalam “i” kecil, melainkan Islam “I” besar, sebagai “rahmatan lil
alamin”.
BAB III
FILSAFAT MATERIALISME KARL MARK DAN FRIEDRICK ENGELS
Mark dan Engels adalah filsafat yang menggagas materialisme
dialektis dan meterialisme historis yang berkiblat pad Hegel secara kritis
dengan melakukan rekonstruksi.
Materialisme adalah sistem pemikiran yang meyakini materi sebagai
satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain
materi. Berakar pada kebudayaan Yunani kuno, dan mendapat penerimaan yang
meluas di abad 19, sistem berpikir ini menjadi terkenal dalam bentuk paham
materialisme dialektik.
Selain materialisme ia juga aktifis Komunis dan penggagas manifesto
komunis. Dimana kedua “filsuf nakal” ini menyatakan bahwa agama merupakan teori
umum tentang dunia itu. Agama merealisasi inti manusia dengan cara fantastis
karena inti manusia itu belum memiliki
realitas yang nyata.
BAB IV
SKEPTISISME OTENTITAS HADITS: KRITIK ORIENTALIS IGNAZ GOLDZIHER
Goldziher adalah seorang orientalis ahli tafsir dan hadits yang
berasal dari Hongaria berkebangsaan Jerman. Selain sebagai orientalis, dia juga
sebagai kritikus hadits yang menyatakan bahwa hadits bukan murni pernyataan
Nabi tapi hadits sebagian besar adalah hasil dari perkembangan politik dan
kemasyarakatan abad I dan II H.Tetapi dia tidak semata-mata mementahkan sumber
keislaman. Ia masih mengakui bahwa sebagian sumber ajaran Islam.
Keyakinan sementara umat Islam ini terhadap kesimpulan kajian
sarjana orientalis bukanlah karena ia adalah benar, tetapi adalah karena:
a.
Terperdaya
dengan metode kajian sarjana orientalis yang kononnya ilmiah dan saintifik.
b.
Tepengaruh
dengan bahan-bahan rujukan orientalis yang terdiri dari pada kitab-kitab Islam
sendiri.
c.
Tidak
memiliki ilmu yang secukupnya dalam bidang hadits untuk mengukur dan menapis
hasil-hasil penemuan para sarjana orientalis.
Tesis yang dilahirkan oleh para orientalis selalu saja menghasilkan
hal negatif tentang Islam. Hal ini banyak dipengaruhi oleh metode analisis yang
dipakai oleh orientalis sebagaimana yang diungkapkan oleh Musthafa Al-Shiba’i
berikut:
a.
Berprasangka
buruk dan sala mengerti tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan Islam
baik tujuan dan motifnya.
b.
Berprasangka
buruk terhadap tokoh-tokoh umat Islam, ulama dan pembesar mereka.
c.
Menggambarkan
masyarakat Islam sepanjang sejaah, khususnya periode pertama itu, sebagai
masyarakat yang terpecah-belah dan individualisme memusnahkan
pemimpin-pemimpinnya.
d.
Menggambarkan
peradaban Islam secara tidak realitas dengan mengecilkannya serta meremehkan
bekas peninggalannya.
e.
Tidak
memahami watak masyarakat muslim yang sesungguhnya.
f.
Memperlakukan
informasi ilahiah menurut kemauan mereka sendiri mau mereka terima atau mereka
tolak.
g.
Sering
memuar balikkan mushuh (teks) dengan senggaja.
h.
Menggunakan
refrensi semuanya untuk dijadikan sumber penukilnya.
Dalam rangka membuat kritik hadits, Goldziher masih memilih antara
hadits dan sunnah. Ia menyatakan bahwa hadits bermakna suatu disiplin ilmu
teoritis dan sunnah adalah kopendium aturan-aturan praktis. Satu-satunya
kesamaan sifat antarakeduanya adalah bahwa keduanya berakat turun-menurun. Dia
menyatakan bahwa kebiasaaan-kebiasaan yng muncul dalam ibadah dan hukum, yng
diakui sebagai tata cara kaum Mulim pertama yang dipandang berwenang dan telah
pula dipraktikkan dinamakan sunnah atau adat/kebiasaan keagamaan.
Ada hikmah dibalik skeptisisne otentitas hadits yang didendangkan
oleh Goldziher, bahwa umat Islam hendaknya harus tergugah semangatnnya untuk
meneliti keaslian hadits secara ilmiah, tidak hanya percay dengan doktrinasi
agama yang sifatnya normative dan persuasuive. Sehingga hadits
dipandang sebagai sesuatu yang sakral yang “sudah pasti” jelmaan Tuhan yang
ditransfer lewat Muhammad sehingga secara tiba-tiba otentik dan tidak bisa
dirubah.
BAB V
TELAAH SOSIO-KULTURAL: MANHAJ AHLUL MADINAH
Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam ishtimbat hukum merupakan
masalah yang sangat penting untuk kita kaji bersama. Hal ini dikarenakan begitu
banyak para ulama’ yang berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum Islam.
Perbedaan ini tidak hanya terjadi sekarang tetapi sejak zaman sepeninggal Nabi
Muhammad SAW karena hanya beliaulah yang dapat langsung menanyakan kepada Allah
hal-hal yang kurang jelas. Tetapi sepeninggal beliau tidak ada lagi yang dapat
dijadikan petunjuk secara benar dan pasti.
Para sahabat Nabi berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk menjawab
segala permasalahan yang timbul, tetapi perbedaan memang tidak bisa dielakkan.
Hal ini merupakan sesuatu yang alamiyah di mana setiap manusia memiliki
pendapat sendiri. Perbedaan tejadi hingga melahirkan madzab besar maupun madzab
kecil yang kita kurang mengenalnya. Nabi sendiri pernah bersabda bahwa suatu
saat umatnya akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Hal ini
menandakan bahwa memang akan terjadi perbedaan pendapat pada kaum Islam.
Madzhab ahlul Madinah dipelopori oleh fuqoha’ al-sab’ah yaitu:
Sa’id bin Musayyad
Urwah bin Zubair
Abu Bakar bin Abdurrahman
Ubaidillah bin Abdullah
Khorijah bin Zaid
Al-Qasim bin Muhammad
Sulaiman bin Yasar
Dua madzhab besar dalam hukum Islam adalah ahlul Hadits dan ahlul
Ra’yi, yang pada akhirnya melahirkan madzhab Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab
Hambali dan madzhab Hanafi. Ahlul Hadits adalah sekelompok orang yang Ahlul
Hadits berorientasi pada nash al-Qur’an dan as-Sunnah serta yaitu segala
sesuatu yang diriwayatkan oeh sahabat dalam menetapkan hukum. Mereka
menggunakan al-Qur’an, as-sunnah, al-ijma’ dan al-qiyas, ahlul hadits dalam
istimbath hukum. Madzhab dari ahlul hadits adalah madzhab syafi’i, madzhab
Maliki dan madzhab Hambali.
Sedangkan ahlul ra’yi adalah sekelompok orang yan dalam penggunaan
akal dalam berijtihad melebihi sikap yang dianut oleh para ahlul hadits dan
kelompok ahlul ra’yi sering mendahulukan pendapat akal dari pada hadits-hadits
ahad. Mereka sangat selektif dalam menerima hadits-hadits. Ra’yu atau ijtihad
dapat digunakan dalam meghadapi masalah yang tidak ada nashnya baik dalam
al-Qur’an maupun sunnah Nabi Muhammad SAW. Madzhab yang lahir dari golongan ini
adalah madzhab Hanafi.
BAB VI
POSTMODERNISME: REALITAS FILSAFAT KONTEMPORER
Era postmodernisme ditandai oleh fenomena yang serba paradoksal.
Ini menyebabkannya bersikap ambivalen. Optimismenya terhadap postmodernisme
ternyata diikuti oleh kekecewaannya terhadap sikap media massa Barat yang lebih
banyak memusuhi kaum Timur. Apapun yang hendak ditolak pescamodernisme adalah
sikap gaya berpikir yang menotaklan diri dan berlagak universal. Modernisme
adalah salah satu contoh utamanya, yang memandang realitas sebagai keutuhan
yang tertata dan berpusat pada prinsip rasionalitas.
Dengan mendasarkan diri pada paradigma Cartesien yang melihat
realitas sebagai mesin raksasa yang deterministik dan sepenuhnya bisa dikontrol
oleh pengetahuan objektif, modernisme lantas menegaskan datangnya zaman
kemajuan dalam sejarah. Pandangan ini digugat seacara serius. Dimana postmodernisme
identik dengan dua hal. Pertama, postmodernisme dinilai sebagai keadaan
sejarah setelah zaman modern. Sebab
kata post atau pasca sendiri secara literal mengandung pengertian
‘sesudah’. Dengan begitu modernisasi dipandang telah mengalami proses akhir
yang akan segera dignatikan dengan zaman berikutnya, yaitu postmodernisme.
Kedua, postmodernisme
dipandang sebagai gerakan ntelektual yang mencoba menggugat, bahkan
mendekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigma
pemikiran modern. Kegagalan modernisme itu telah melahirkan gerakan postmodernisme
yang mendekonstruksi pemikiran mdernisme. Gerakan postmodernisme telah merambah
ke berbagai bidnag keghidupan, termasuk seni, ilmu, filsafat, dan pendidikan.
Maka dari itu, geliat postmodernisme telah lebih dikenal posmo
menjadi trendi filsafat saat ini yang masih sering didiskusikan oleh semua
kalangan. Ini menandakan bahwa posmo tak habisnya baga garam di laut yang tak
akan habis dan bagai samudra yang tak berujung. Posmo boleh dikata sebagai
filsafat kontemporer yang masih trend sampai saat ini.
BAB VII
POTRET METODE DAN CORAK TAFSIR AL-AZHAR
Hamka adalah seorang pemikir muslim progresif dan tokoh
Muhammadiyah yang rela berkorban dalam memperjuangkan Islam hingga dia
dipenjara. Namun masuknya dia ke penjaa bukan menjadi hambatan dalam berkarya,
justru di dalam sel kala itu ia menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar.
Tafsir Al-Azhar adalah salah satu tafsir karya warga Indonesia yang
dirujuk atau dianut dari tafsir Al-Manar karya Muhammad Abdu dan Rasyid Ridla.
Melihat ciri khas yang ada dalam tafsir karya Hamka tersebut, maka
nampak metode tahlili (analisa) bergaya tertib mushaf dan corak
kombinasi al-Adabi al-Ijtima’i-Sufi.
BAB VIII
DISKURSUS METODE HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
Menurut beberapa telaah secara singkat, yang dimaksud metode
hermeneutika adalah cara-cara untuk menafsirkan simbol-simbol yang terwujud
dalam teks atau bentuk-bentuk lainnya. Pada awalnya metode hermeneutika
digunakan untuk menafsirkan kitab suci saja, namun semenjak Dilthey (1833-1911)
metode ini mulai dipergunakan untuk ilmu-ilmu kemanusiaan seperti bidang
sejarah, psikologi, hukum, sastra, sei dan sebagainya.
Hermeneutika digunakan sebagai jembatan untuk memahami Islam secara
menyeluruh, baik dari persoalan historis-sosologis dan semiotis-kebahasan.
Hermeneutika sendiri mempunyai banyak arti, namun pada intinya hermeneutika
adalah salah satu diantara teori dan metode menyingkap makna tersebut,
sehinggga dapat dikatakn bahwa tanggung jawab utama dan pertama dari
hermeneutika adalah menampilkan makna yang ada dibalik simbol-simbol yang
menjadi obyeknya. Islam sebagai agama yang dikembangkan dengan teks al-Qur’an
juga mencoba untuk kita dekati dengan metode hermeneutika agar mendapatkan
otentitas the message of God.
Sedangkan hermeneutika
al-Qur’an merupakan istilah yang masih asing dalam wacana pemikiran Islam.
Diskursus penafsiran al-Qur’an tradisional lebih banyak mengenal istilah al-tasir,
al-ta’wil dan al-bayan. Dapat digariskan bahwa hermeneutika
al-Qur’an adalah salh satu metode untuk membedah kandungan makna ayat Allah ini
dengan menyesuaikan konteks dan membuat ayat itu semakin kontekstual. Sehingga
yang muncul adalah dialog al-Qur’an antara teks dan konteks.
BAB IX
JAWA DAN TRADISI ISLAM PENAFSIRAN HISTORIOGRAFI JAWA MARK R
WOODWARD
Bagi Mark R. Woodward, Islam Jawa adalah unik, bukan karena ia
mempertahankan aspek-aspek budaya dan agama pra Islam, tetapi karena konsep
sufi mengenai kewalian, jalan mistik dan kesempurnaan manusia diterapkan dalam
formulasi suatu kultur keraton.
Salah satu ciri Islam Jawa yang dikatakan oleh Mark R. Woodward
adalah kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Budha yang
paling maju. Generasi skarang dapat melihat bagaimana pertemuan ini bermuara
pada tradisi Jawa seperti dalam fenomena: muatan karya sastra yang berpatronase
dengan keraton seperti Serat Saloka Jiwa karya Ranggawarsita dan Serat
Centhini karya Pakubuwono V dengan nilai-nilai sufisme, ritual Sekatenan
dikorelasikan dengan rekonstruksi sejarah Islamisasi Jawa, ajaran-ajaran
Islam dalam pewayangan, dan penekanan bentuk keberagaman yang mengedepankan
kesalehan praksis pada masyarakat Jawa, serta masih banyak fenomena lain untuk
menjustifikasi pengaruh Islam terhadap tradisi Jawa.
Mark R. Woodward juga sangat kritis terhadap karya Greetz. Mencari
titik temu antara agama (Islam) dengan kultur (Jawa) menyiapkan kekhawatiran
laten akan berkurangnya otentitas dan kemurnian ajaran agama itu. Masalah lain
adalah perlunya mencari jalan keuar bagaimana bisa membangun suatu praktik
keagamaan yang terbuka, egalitarian, namun tidak mengkorbankan otentitas suatu
agama.
BAB X
PROFIL PERADABAN ISLAM
Baghdad, Kairo (Mesir), Ishafan(Persia), dan Istambul (Turki)
adalah beberapa contoh daerah yang kaya akan budaya dan peradaban. Di sana
ditemukan peninggalan-peninggalan umat Islam pada masa dinasti-dinasti
terdahulu berupa tempat ibadah, perpustakaan, bangunan istana dan tempat-tempat
sosial. Disanalah gudnagnya para ilmuan muslim yang tersohor dengan
penemuannya, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Razi, Ibnu Rusyd, al-Ghazali dan
masih banyak lagi.
Namun karena kelengaan umat Islam, kejayaan itupun akhirnya runtuh
yang ditandai dengan hancurnya dinasti Abbasiyah dengan dibakarnya perpustakaan
terbesar oleh pasukan Mongol sehingga menjadi lautan hitam. Sejak mulai
jatuhnya Abbasiyah tersebut berpindahlah pusat ilmu pengetahuan ke dunia Barat.
Dari pengalaman sejaah ini, Islam harus berjuang, bangkit untuk mengembalikan
kejayaan peradaban Islam yang dulu pernah diraih oleh para cendekiawannya,
dengan banyak membaca dan menimba ilmu pengetahuan supaya umat Islam tidak
dipandang sebelah mata oleh dunia Barat.
Kemampuan untuk merekonsiliasikan diri secara kreatif dan cerdas
dengan berbagai tantangan perubahan global tersebut, tentu akan menciptakan
tekstur peradaban Islamuang progresif, liberatif, dan toleran. Agama yang lahir
dari rahim komunitas muslim yag percaya diri dan terbuka terhadap setiap
kemungkinan perubahan, akan menciptakan peradaban yang progresif dan terbuka.
Perjalanan membangun komunitas muslim yang inklusif, kreatif, dan
berkarakter kosmopolit tentunya bukan perjalanan mudah. Jalan terjal, berliku,
dn mendaki merupakan tantangan yang harus dihadapi. Yakinlah, jaringan
komunikasi intercultural dengan peradaban lain akan menyertai benih-benih
keterbukaan, dan perubahan di dalam masyarakat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar